Pendengaran adalah salah satu panca indera yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Namun, berbagai faktor dapat menyebabkan gangguan pendengaran, baik sejak lahir maupun akibat kondisi tertentu. Berikut beberapa jenis gangguan pendengaran yang umum terjadi:
1. Tuli Sejak Lahir (Tuli Kongenital) Gangguan ini terjadi sejak lahir dan dapat disebabkan oleh faktor genetik, infeksi selama kehamilan, atau komplikasi saat persalinan. Deteksi dini dan penggunaan alat bantu dengar atau implan koklea dapat membantu meningkatkan kemampuan komunikasi.
2. Sumbatan Serumen (Kotoran Telinga) Penumpukan kotoran telinga (serumen) dapat menyebabkan penurunan pendengaran sementara. Biasanya, kondisi ini bisa diatasi dengan pembersihan telinga yang aman oleh tenaga medis.
3. Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK/Congek) Infeksi telinga tengah yang tidak diobati dengan baik dapat berkembang menjadi otitis media kronis, yang menyebabkan keluarnya cairan dari telinga dan dapat berujung pada gangguan pendengaran permanen.
4. Gangguan Pendengaran Akibat Bising (GPAB) Paparan suara keras dalam waktu lama, seperti dari mesin industri atau mendengarkan musik dengan volume tinggi, dapat merusak sel-sel rambut di koklea. Penggunaan pelindung telinga dapat membantu mencegah kerusakan ini.
5. Tuli karena Usia Lanjut (Presbikusis) Seiring bertambahnya usia, fungsi pendengaran alami bisa menurun. Kondisi ini disebut presbikusis dan umumnya terjadi pada lansia. Penggunaan alat bantu dengar dapat membantu penderita tetap berkomunikasi dengan baik.
Prevalensi Gangguan Pendengaran di Indonesia
Menurut data WHO tahun 2022, sebanyak 360 juta orang di dunia (5,3% dari populasi global) mengalami gangguan pendengaran. Dari jumlah tersebut, 50% berada di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Hasil survei nasional yang dilakukan di 7 provinsi di Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 16,8% penduduk atau sekitar 35,28 juta orang mengalami gangguan pendengaran. Sementara itu, sekitar 0,4% atau 840.000 orang mengalami tuli berat. Lebih lanjut, setiap tahun diperkirakan lebih dari 5000 bayi lahir dengan kondisi tuli.
Data ini menunjukkan bahwa gangguan pendengaran merupakan masalah kesehatan yang serius di Indonesia, sehingga diperlukan perhatian khusus dalam pencegahan dan penanganannya.
Tuli Kongenital
Tuli kongenital adalah kondisi gangguan pendengaran yang terjadi sejak lahir atau sebelum proses persalinan. Kondisi ini dapat disebabkan oleh faktor genetik maupun nongenetik. Secara garis besar, terdapat beberapa bentuk kelainan pada tuli kongenital, yaitu:
1. Kelainan Daun Telinga (Mikrotia atau Anotia): Daun telinga tidak berkembang sempurna atau bahkan tidak terbentuk sama sekali.
2. Kelainan Liang Telinga (Atresia Liang Telinga): Liang telinga tidak terbuka atau mengalami penyumbatan sehingga suara tidak dapat masuk dengan baik.
3. Kelainan Telinga Tengah: Gangguan pada tulang-tulang pendengaran di telinga tengah, yang menyebabkan transmisi suara terganggu.
4. Kelainan Telinga Dalam (Gangguan Koklea): Masalah pada koklea yang berperan penting dalam menghantarkan suara ke saraf pendengaran.
Deteksi dini tuli kongenital sangat penting agar anak bisa mendapatkan intervensi yang tepat, seperti penggunaan alat bantu dengar atau terapi wicara, sehingga dapat berkembang dengan optimal.
Skrining Bayi Baru Lahir
Skrining bayi baru lahir adalah langkah penting untuk mendeteksi dini berbagai gangguan kesehatan yang mungkin tidak langsung terlihat saat lahir. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memastikan bayi mendapatkan intervensi medis yang tepat sejak dini, sehingga dapat mencegah komplikasi yang lebih serius di kemudian hari.
Jenis Skrining Bayi Baru Lahir
1. Skrining Gangguan Pendengaran Pemeriksaan pendengaran dilakukan dalam rentang usia 0–28 hari menggunakan metode Otoacoustic Emissions (OAE). Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendeteksi kemungkinan gangguan pendengaran sejak lahir, sehingga intervensi seperti terapi wicara atau penggunaan alat bantu dengar dapat dilakukan lebih awal.
2. Skrining Gangguan Kongenital Gangguan bawaan yang terjadi sejak lahir dapat dideteksi dengan pemeriksaan darah dari tumit bayi pada usia 48–72 jam. Pemeriksaan ini berguna untuk mengetahui adanya kelainan metabolik atau genetik yang memerlukan penanganan segera.
3. Skrining Penyakit Jantung Kritis Bawaan Bayi yang lahir dengan kelainan jantung bawaan dapat mengalami gangguan sirkulasi darah yang berbahaya. Oleh karena itu, pemeriksaan pulse oximetry dilakukan pada bayi usia kurang dari 24 jam untuk mendeteksi kadar oksigen dalam darah dan mengetahui kemungkinan adanya penyakit jantung kritis bawaan.
4. Skrining Gangguan Penglihatan Bayi prematur berisiko mengalami gangguan penglihatan yang dapat menyebabkan kebutaan jika tidak ditangani. Oleh karena itu, pemeriksaan mata dilakukan pada bayi usia 2–4 minggu untuk mendeteksi Retinopathy of Prematurity (ROP) atau kelainan lain yang dapat mempengaruhi kemampuan melihat.
Mengapa Skrining Bayi Baru Lahir Penting?
Skrining bayi baru lahir memungkinkan dokter dan tenaga medis untuk mendeteksi serta menangani gangguan kesehatan sejak dini. Dengan pemeriksaan yang cepat dan tepat, banyak kondisi kesehatan yang berisiko tinggi dapat ditangani sebelum berkembang menjadi masalah yang lebih serius.
Gangguan pendengaran yang tidak terdeteksi sejak dini dapat menyebabkan keterlambatan bicara dan kesulitan dalam memahami bahasa. Oleh karena itu, skrining pendengaran menggunakan metode Otoacoustic Emission (OAE) sangat penting dilakukan sejak bayi baru lahir.
Apa Itu OAE?
Otoacoustic Emission (OAE) adalah pemeriksaan untuk mendeteksi gangguan pendengaran pada bayi dengan cara mengukur respons koklea terhadap rangsangan suara. Pemeriksaan ini cepat, tidak menyakitkan, dan dapat membantu mengidentifikasi bayi yang berisiko mengalami gangguan pendengaran.
Pentingnya Skrining Pendengaran dengan OAE
Skrining pendengaran bayi dengan OAE bertujuan untuk: ✅ Mencegah keterlambatan bicara akibat gangguan pendengaran. ✅ Mendeteksi gangguan pendengaran sejak dini agar dapat segera ditangani. ✅ Mendukung perkembangan komunikasi dan sosial anak secara optimal.
Kapan Harus Waspada terhadap Gangguan Pendengaran pada Anak?
Orang tua perlu waspada jika anak menunjukkan tanda-tanda berikut sesuai dengan usianya:
👶 Usia 12 Bulan: 🔸 Belum dapat mengoceh (babbling) atau meniru suara.
👶 Usia 18 Bulan: 🔸 Tidak dapat menyebutkan satu kata yang memiliki arti.
👶 Usia 24 Bulan: 🔸 Perbendaharaan kata kurang dari 10 kata.
👶 Usia 30 Bulan: 🔸 Belum dapat merangkai dua kata dalam satu kalimat sederhana.
Apa yang Harus Dilakukan Jika Anak Menunjukkan Tanda-Tanda di Atas?
Jika anak mengalami keterlambatan dalam berbicara atau menunjukkan gejala gangguan pendengaran, segera konsultasikan dengan dokter spesialis THT. Pemeriksaan lebih lanjut seperti tes audiometri atau Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) mungkin diperlukan untuk memastikan kondisi pendengaran anak.
Kesimpulan
Skrining pendengaran menggunakan OAE merupakan langkah awal yang penting untuk mendeteksi gangguan pendengaran sejak dini. Orang tua juga perlu memperhatikan perkembangan komunikasi anak sesuai usianya. Jika ada tanda-tanda keterlambatan bicara atau gangguan pendengaran, segera lakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mendapatkan penanganan yang tepat.
Source: RSUD NAS